>>

12 December, 2013

Aksi Heroik Mengorbankan Nyawa ,3 Kru KRL Punya Kesempatan Untuk Lompat dari KRL "Maut" Tak Melompat


Keluarga besar PT Kereta Api Indonesia berduka. Tiga rekan mereka tewas mengenaskan dalam kecelakaan yang terjadi Senin 9 Desember 2013. KRL Commuter Line jurusan Serpong-Jakarta yang mereka kendalikan menghantam truk tangki bermuatan bahan bakar premium.

Tapi, kematian Darman Prasetyo (masinis), Agus Suroto (asisten masinis) dan Sofyan Hadi (teknisi), tidak sia-sia. Nama mereka akan selalu diingat banyak orang karena keberanian, dedikasi dan tanggung jawabnya dalam menjalankan tugas.
Mereka merelakan nyawa, meski peluang untuk menyelamatkan diri terbuka lebar.

Direktur Utama PT KAI Ignasius Jonan berkaca-kaca saat melepas jenazah anak buahnya dari Stasiun Gambir ke daerah asal masing-masing. Dia 'angkat topi' untuk ketiga anak buahnya. Keberanian dan dedikasi ketiganya memberi contoh pada semua orang.

Kata Jonan, tidak semua orang punya dedikasi dan keberanian, hingga mengorbankan jiwanya sendiri. "Saya sendiri belum tentu sanggup dalam kondisi seperti itu harus menentukan pilihan akan bagaimana," ucap Jonan dengan mata berkaca-kaca.

Jonan memberikan apresiasi khusus kepada Sofyan Hadi. Anak buahnya yang baru dua bulan bekerja sebagai teknisi KRL, tapi sudah menunjukkan dedikasi yang tinggi.

Sebelum peristiwa mengerikan itu terjadi, Sofyan mengarahkan para penumpang di gerbong paling depan mundur ke belakang karena kereta akan menabrak truk tangki.
Dalam hitungan detik waktu yang tersisa, Sofyan ke luar dari kabin masinis dan memerintahkan penumpang mundur sambil berpegangan pada tiang atau kursi penumpang. Sementara, dua rekannya, Darman dan Agus berusaha memperlambat laju kereta. Sebisa mungkin menghindari tabrakan.

Saat itu penumpang sulit bergerak karena gerbong khusus wanita yang berada di bagian paling depan rangkaian sangat penuh dan mereka saling berdesakan. Sofyan terus memerintahkan mereka untuk mundur.

Sofyan kemudian melihat ada anak kecil di gerbong depan. Dia langsung membawa anak itu bergeser ke gerbong belakang. Sofyan sempat mundur sampai gerbong ketiga demi menyelamatkan anak yang tak dikenalnya itu.

Hebatnya, kata Jonan, Sofyan tidak mencoba menyelamatkan diri. "Sofyan bisa saja tidak kembali ke kabin depan setelah memperingatkan penumpang. Tapi ia justru balik lagi ke kabin membantu rekan-rekannya," ujar Jonan.

Padahal, kalau mau, Sofyan bisa menyelamatkan diri, loncat dari gerbong tiga. Tapi, dia tidak melakukannya.

Julie Retna, salah satu penumpang selamat yang berada di gerbong khusus wanita paling depan, membenarkan hal tersebut.

Menurut perempuan 54 tahun itu, ada kru kereta, yang belakangan diketahui adalah Sofyan, keluar dari kabin kemudi untuk memberitahu penumpang bahwa kereta akan tabrakan. "Kalau dia nggak masuk lagi pasti dia selamat," kata Julie.

Warga kota Tangerang Selatan yang berada dekat dengan kabin masinis itu lantas mengintip ke pintu kabin yang terbuka. Dia tidak percaya yang dilihatnya, pemandangan mengerikan. Truk tangki bensin melintang di depan kereta yang ditumpanginya.

Tabrakan tak dapat terhindarkan. "Jegerr... ", ucap Julie, kereta 'adu banteng' dengan truk tangki milik Pertamina. Ledakan dahsyat terdengar. Penumpang berhamburan, berteriak, menyebut nama Tuhan. Mereka berusaha menyelamatkan diri. [Baca selengkapnya: Kereta Vs Truk Tangki, Penumpang Keluar Lewat Jendela]

Tapi, ketiga pahlawan itu tak berdaya. Mereka terjebak di tengah kobaran api. Jasad mereka ditemukan tim penyelamat saling bertumpukan di kabin masinis, hangus akibat terbakar.

Sebagai penghormatan PT KAI terhadap ketiga karyawannya, masinis Darman Prasetyo dan asisten masinis Agus Suroto dinaikkan pangkatnya dua tingkat. Sedangkan teknisi Sofyan Hadi yang berstatus karyawan kontrak diangkat menjadi karyawan tetap.
Mereka juga diberikan santunan yang diserahkan ke ahli waris masing-masing. Baca selengkapnya di sini.
"Bila ada keluarga mereka yang mau jadi karyawan PT KAI, bisa langsung masuk tanpa tes. Saya yang menjamin. Ini bentuk penghormatan kami," Jonan menegaskan.

Hidup-mati di kereta
Sofyan merupakan anak bungsu dari 4 bersaudara. Dia satu-satunya anak laki-laki. Amelia (50 tahun), ibu Sofyan, syok mendengar kematian anak laki satu-satunya.

Semasa hidupnya, Sofyan Hadi dikenal sebagai pribadi yang ulet, rajin, dan patuh pada orangtua. Bahkan, Ade Rukhim, ayah Sofyan, mengakui anaknya itu dikenal supel di lingkungan tempat tinggalnya, di Jalan RA Kartini, Gang Mawar III RT 2/RW 2, Margahayu, Bekasi Timur, Kota Bekasi, Jawa Barat.

"Bahkan saya sendiri mengaku kalah dengan Sofyan. Dia pergaulannya luas. Dikenal banyak orang. Boleh tanya ke orang-orang sini," kata Ade saat diwawancara tvOne di kediamannya.

Sejak menamatkan pendidikan di SMK Karya Guna 1, di Duren Jaya, Bekasi Timur, Sofyan sudah bercita-cita bekerja sebagai pengemudi kereta alias masinis. Cita-citanya ini pernah diutarakan ke sang kakak, Yanti (26 tahun).

Sofyan lulus tahun 2011. Tiga kali tes di perusahaan kereta api, Sofyan selalu gagal. Sampai akhirnya dia diterima menjadi teknisi oleh PT KAI pada Oktober 2013.

Kata Yanti, adiknya itu sempat bekerja di pabrik sebagai batu loncatan. Sampai akhirnya ditelepon dapat panggilan, terus diterima di KAI. Sofyan pun keluar dari tempat kerjanya terdahulu.

"Dia sempat girang banget, karena ini jalan dia mewujudkan cita-citanya menjadi masinis," kata Yanti.

Sejak bekerja di commuter line, Sofyan sering tinggal di mess PT KAI di Serpong, Tangerang, Banten.

Kecintaan Sofyan terhadap dunia perkeretaapian tak perlu diragukan. Pemuda ini pernah mengutarakan niatnya untuk mengabdikan diri di dunia perkeretaapian. Niatnya itu diungkapkan Sofyan kepada sang ayah. "Dia pernah berpesan bahwa hidup dan matinya hanya di kereta," kata Ade.

Selain itu, Sofyan, sejak lulus sekolah dan bekerja, selalu rajin menabung. Uang itu, kata Yanti, akan digunakan Sofyan untuk menikahi gadis pujaan hatinya yang sudah dipacari sejak duduk di bangku SMP.

"Dia bilang mau nikahin pacarnya. Makanya rajin menabung. Uang itu, katanya, juga buat naikin haji kedua orangtuanya," kata Yanti.
Anak rajin itu jadi masinis
Darman Prasetyo pulang tinggal nama di usia 26 tahun. Kepergian Darman untuk selamanya menyesakkan keluarga besar. Darman meninggalkan seorang istri cantik, Riza Lastiana (24 tahun), dan Fariz Saefullah, anak lelakinya yang masih berusia dua tahun.
Darman merupakan anak Suroto, Lurah Jenar Wetan, Purwodadi. Dia anak ketiga dari empat bersaudara. Sejak kecil, Suroyo mengenal keponakannya itu sebagai anak yang pintar, rajin dan disiplin.

Darman juga dikenal sebagai pribadi yang mandiri dan tidak macam-macam. Sebagai kepala keluarga, kata Suroyo, Darman dinilai sebagai pria yang sangat bertanggung jawab terhadap anak dan istrinya.

"Dia pulang 1-2 minggu sekali ke Tegal, tergantung kesibukannya bekerja. Selama di Jakarta dia tinggal di mess perusahaan di daerah Serpong," ujar Suroyo (51 tahun), paman Darman.

Kesan itu juga dirasakan Sandhie, rekan Darman sesama masinis. Menurut Sandhie, kawannya itu merupakan sosok yang baik, pekerja keras, dan tidak pernah mengeluh.

Dia mengaku terkejut mendengar peristiwa yang menewaskan rekannya. Ia mengaku sempat bertemu dan bersalaman pagi hari sebelum kejadian.

"Saya tidak menyangka, jabatan tangan itu sebagai jabatan terakhirnya dengan Darman," katanya.

Darman dimakamkan di TPU Kembang Gading, Purworejo. Ratusan orang yang terdiri dari warga desa, kerabat dan rekan sejawat Darman, hadir dalam pemakaman. Orangtua, istri dan saudaranya histeris.
Bangga jadi asisten masinis
Ibu Agus bernama Suminah (48 tahun) tampak syok berat mendapat kabar anak bungsu kesayangannya menjadi korban tewas dalam kecelakaan maut itu. Sambil menangis sesegukan, Suminah mengatakan, Agus anak yang berbakti kepada orangtua.

"Terakhir, dia telepon tanggal 2 (Desember). Dia bilang mau kirim uang gajinya untuk saya tabung," kata Suminah sambil terus menangis. Sejumlah kerabat berusaha menghibur Suminah.

Suminah mengaku tak punya firasat apapun akan kehilangan anaknya itu. Menurut dia, Agus memang jarang pulang ke Blora. Kalaupun pulang, Agus jarang menginap dan langsung kembali ke Jakarta.

Agus merupakan lulusan dari Sekolah Teknik Mesin (STM) Minyak dan Gas Bumi (Migas) Cepu. Kini, sekolah itu telah berubah nama menjadi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Migas Cepu.
Setelah lulus tahun 2006, Agus sempat kuliah, tapi drop out. Pemuda 24 tahun itu kemudian sempat bekerja di tempat lain. Sejak tujuh bulan lalu, dia bekerja sebagai asisten masinis.
Kakak Agus, Sudarsono, mengatakan, adiknya sangat bangga bekerja sebagai asisten masinis di PT KAI.

"Dia sangat senang setelah mendengar diterima bekerja sebagai asisten masinis. Dia merasa bangga bisa jadi asisten masinis," kata Sudarsono.
Kini, jasad Agus Suroto telah dimakamkan di pemakaman umum, dekat rumahnya, di Desa Sambong, Blora, Jawa Tengah.


VivaNews

3 comments: